Blog ini betul-betul kliping. Artinya mengumpulkan berbagai tulisan media yang sayang untuk dibuang, tanpa mengubah apapun. Saya mengundang teman-teman yang kebetulan sudah menekuni kliping dengan tema apapun untuk bergabung. Bisa dengan menyumbang kliping ke blog ini, atau menghubungkan blog kliping mu dengan blog ini.

Mohon Ijin: Atasan-Bawahan

ATASAN-BAWAHAN

Demikianlah yang dikatakan seorang sopir kepada teman saya ketika hendak menjawab telepon genggamnya yang berbunyi saat sedang menyetir mobil. Permohonan itu dilakukan karena teman saya yang duduk di kursi belakang itu masuk ke dalam kategori big boss, dan di kota "kecil" bos itu mahapenting. Yaa... sebelas duabelaslah sama penguasa dunia, Teman saya itu hendak menghadiri acara pembukaan sebuah outlet barunya.

Mohon izin adalah sesuatu yang sering dilakukan, apalagi kalau bicara dengan atasan. Ucapan mohon izin mempakan bentuk ungkapan yang didasari banyak alasan. Dari yang benar-benar sopan santun, seperti cerita sopir di atas, sampai yang mau mencari muka. Contoh yang terakhir ini memiliki manfaat ganda.

Bawahan "Part" I

Pertama, bawahan yang melakukan terlihat santun, mirip si sopir tadi, karena menghormati atasan. Akibatnya bisa jadi positif karena bos merasa senang dianggap atasan, dianggap penting, dianggap mengerti semua hal. Apalagi, kalau atasannya memi­liki kesenangan dijilat-jilat.

Tak semua bawahan merasa atasannya itu atasan dan menganggap penting dan menganggap ia mengerti semuanya. Bahkan, ada atasan yang selalu saja tidak sinkron jalan pemikirannya dengan visi dan misi perusahaan yang mengakibatkan sistem kerja, termasuk manusia di dalamnya, carut marut. Itu salah satu sebab bawahan tak menganggap dia atasan dan manusia maha­penting.

Kedua, kalau bawahan sudah disukai atasan, semuanya beres. Bahkan, saat bos ada atau tidak ada, keputusan bisa mengalami jalan pintas. Maksud saya dengan jalan pintas, proposal dari luar sudah dijegal sebelum diletakkan sekretaris di meja big boss. Kalaupun tidak dijegal langsung, bisa jadi setelah proposal masuk ke atasan dan didiskusikan, dijegal justru setelah pertemuan itu.

Tentu, dengan cara anggun. Misalnya, bawahan berkicau, "Oke Pak, saya pikir keputusan Bapak Bos luar biasa. Ide brilian. Tetapi, seandainya, hanya seandainya saja lho Pak, pergelaran orkestra kita dan lagu-lagunya agak lebih dipopkan, mungkin lebih enak didengar." Itu belum selesai. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat penutup yang santun dan mengecoh. "Bagaimana menurut Bapak? Mohon petunjuknya."

Jadi, bawahan macam itu su­dah seperti dirigen yang mengorkestrasikan agar sebuah tampilan apik kelihatannya. Sejujurnya, ia tak membutuhkan petunjuk. Ia pura-pura saja setuju supaya kelihatan tetap sopan se­perti malaikat dengan memberikan bolanya kembali kepada si bos dengan kalimat mohon pe­tunjuknya itu. Padahal, jelas-jelas ia mau mengepopkan orkestra pilihan si bos yang kelewat konservatif. Jadi, si bos cuma jadi wayang, bawahannya yang jadi pengendali wa­yang, dan kalau bisa jadi sinden sekalian.

Bawahan "Part" II

Bawahan yang bermain seper­ti dirigen tak boleh emosi, harus bisa menjaga meski kesal sekalipun, agar tujuan dapat selesai dan kemenangan di tangan. Vini, vidi, vici bukan cuma orasi Na­poleon semata. Bawahan yang mampu mengontrol atasan se­perti seorang istri yang bisa mengontrol suami sehingga suami jadi takut benar-benar Napoleon. Seorang penguasa.

Bawahan macam ini, atasan akan dibuat santai dan tenang di singgasana. la bahkan tidak bercita-eita menggantikan takhta sang big boss, ia sudah jadi big boss tanpa singgasana. Singgasana tak penting, mengontrol yang duduk jauh lebih penting.

Kemudian saya teringat cerita teman saya yang tinggal di Bang­kok saat saya menanyakan soal hormat-menghormati. la bercerita saat menyaksikan film di bioskop, sebelum film dimulai, penonton harus berdiri untuk menghormati raja. Setiap harinya, pada pukul delapan pagi dan pukul enam sore lagukebangsaan diperdengarkan di area publik, seperti stasiun dan pasar. Semua pejalan kaki harus berdiam diri sampai lagu kebangsaan selesai.

Saya tak tahu apakah mereka yang berdiri benar-benar menghormati. Itu urusan mereki Yang jelas, saya mendapat pelajaran besar sebagai bawahai (baca: warga'negara') saya ini patut menghormati sepenuh hati para pemimpin dan negara. Mungkin kalau mencontoh da lam penghormatan macam iti tidak ada salahnya. Jadi, sebelun menyaksikan adegan pembunuhan atau pocong beranak di gedung bioskop, penghormatan terhadap negara harus tetap dilakukan. Berdiri dan melantunkan lagu kebangsaan. Kalau kemudian nurani Anda berkeluh kesah, "Huh? Berdiri?" Itu bukan urusan saya.

Sebagai bawahan (baca: anak), penghormatan terhadap orangtua juga dilakukan. Saya dahulu merasa melawan orangtua wajib dilakukan, apalagi kalau tak sependapat. Mungkin perdebatan itu sah-sah saja terjadi. Namanya anak, namanya orangtua. Rambut boleh sama hitam, belum tentu rambut dicat dengan warna sama. Tetapi, perdebatan tidak mengusung sebuah tujuan untuk tidak menghormati orangtua.

Saya juga baru tahu, peng­hormatan sebagai bawahan (masih tetap dihaca anak) kepada orangtua menghasilkan hidup se­orang anak menjadi sejahtera dan berlimpah. Tidak hanya uang, tetapi juga batin yang bahagia. Sudah saya alami dalam lima tahun terakhir hidup saya bahwa kebahagiaan dan hidup sejahtera itu terjadi saat saya memutuskan untuk menghor­mati.

Jadi, kalau sekarang saya di­tanya mengapa bisa bahagia, yaa... salah satunya menjadi ba­wahan yang menghormati. Mengapa bisa makmur, yaa.. ka­rena penghormatan itu, bukan sekadar dapat bunga dari deposito atau meredeem Reksa Da­na karena sudah untung, atau karena kenal sama bos A dan bos B.

Maka, kalau sekarang jadi ba­wahan mari kita menghormati atasan, negara, dan orangtua. Terus Anda mungkin berkicau seperti nurani saya "Huh? Menghormati? La wong bos gue aja kayak bajing. Loncat, loncat, loncat enggak bisa dipegang omongannya, ngapain juga menghormati. Hare gene? Meng­hormati bajing-bajing?

Mungkin ada lagi yang bicara. "Wong bos woma­nizer kok dihormati." Nah, kalau sudah begitu saya memilih berhenti saja menulis. Tanda saya sangat meng­hormati orang lain. Saya cuma menyarankan, mau tidak setuju ya... monggo.

BAWAHAN-ATASAN

Katanya kalau dalam perusahaan citra atasan bagus, maka citra bawahn juga turut bagus. Sekarang saya mau coba-coba saja, bagaimana kalau atasan yang bagus itu justru cerminan dari bawahannya yang cihui. Kan katanya pembelajaran itu bisa datang dari mana saja. Mari mencoba langkah yang saya usul-kan. Namanya juga baru coba-coba. Ketidakberhasilan tetap masih ada kemungkinan terjadi.

  1. Sadarilah sejak awal Anda itu bawahan. Nan, kalau yang namanya bawahan yaaa... bawahan saja, enggak pakai acara punya perilaku seperti atasan. Kan sekarang lagi mencoba agar atasan belajar dari bawahan. Kalau bawahannya kayak atasan, apalah gunanya atasan belajar dari bawahannya, bukan? Karena kalau bawahan sok bossy, ya... atasannya nanti belajar jadi bossy.
  2. Jadilah bawahan yang apa adanya. Kalau bisa, bilang bisa, kalau tidak bilang tidak bisa. Jangan pernali janji-janji surga. Nanti kalau tak terpenuhi Anda akan dianggap hanya peng-umbar janji surga. Kalau atasan belajar dari bawahan macam itu, nanti atasannya jadi mengikuti perilaku Anda.
    Oh... yaa... bisa jadi kalau sekarang Anda punya atasan yang hanya bisa mengumbar janji surga dan kalau ditanya menga­takan tak pernah mengatakan itu, bisa jadi big boss malah sudah belajar dari Anda sebagai bawahannya. Kan Anda pasti setuju dengan saya, inspirasi negatif atau positif bisa datang dari mana saja. Makanya, sebagai bawahan jangan macam-macam dalam memberi inspirasi.
  3. Kalau jadi bawahan, jangan suka menjegal sesama kolega. Karena sebagai bawahan tak berarti Anda jadi bos karena ada orang yang masih punya posisi di bawab Anda. Kalaupun An­da berpredikat manajer, Anda itu ba­wahan manajer senior. Jadi, kalau An­da dikasihi seniornya, yaa... kasihani-lah bawahan Anda. Jangan Anda dikasihi atasan, Anda me-nekan dan membuat hi-dup bawahan seperti neraka. Nanti atasan Anda akan belajar dari perilaku Anda itu dan menjadi manusia yang su­ka menekan dan menyengsarakan seluruh karyawan.

    SAMUEL MULIA Penulis mode dan gaya hidup
    Kompas, 15 November 2009

0 comments:

Post a Comment