Blog ini betul-betul kliping. Artinya mengumpulkan berbagai tulisan media yang sayang untuk dibuang, tanpa mengubah apapun. Saya mengundang teman-teman yang kebetulan sudah menekuni kliping dengan tema apapun untuk bergabung. Bisa dengan menyumbang kliping ke blog ini, atau menghubungkan blog kliping mu dengan blog ini.

Kupu-kupu Malam

Saya berdiri menunggu taksi di Jalan Hayam Wuruk di bilangan Jakarta Kota. Waktu menunjukkan nyaris tengah malam. Saya baru selesai kerja lembur dengan salah satu klien.
Saat sedang menunggu taksi, saya menyadari sepenuhnya beberapa "wanita malam" tengah berdiri berjajar, sedang menjajakan diri. Kawasan itu memang terkenal dengan "jajanan" tengah malamnya.

Nurani saya tertawa menyindir pada malam yang dingin dan berangin itu. "Mirip lo beberapa tahun lalu, ya, Jeung. Hi-hi-hi.... Bedanya, lo enggak di tepi jalan."

Saya kesal kalau sudah begitu. Maka benar adanya bahwa manusia tak bisa bersembunyi dan lari dari nuraninya sendiri. Ke mana saja pergi, di situ ia akan bersuara. Kata teman saya sih bisa dimatikan. Mungkin saya kurang keras mencoba mematikannya.

Calon kupu-kupu

Sambil menanti taksi, saya ditemani klien saya. Ia menganjurkan berhati-hati. Saya langsung berkomentar, "Enggak papa. Udah biasa." Udah biasa jualan diri, maksudnya.

Malam itu adalah kali pertama saya berada dekat dengan pelacur jalanan. Yang dekat selama ini hanya yang berada di papan atas, itu pun yang marah disebut pelacur karena tak mau disamakan dengan yang di jalanan meski kelakuannya yaaa... sebelas dua belas dengan yang berjejer di kiri-kanan saya malam itu.

Taksi menembus malam, hujan di luar sedikit merintik. Saya menyalakan iPod sambil mendengar "Merindu"nya Pingkan Mambo. Lagu menyayat hati yang membuat saya rindu pada selingkuhan masa lalu. Saya menirukan kalimat dalam lagu itu. Tuhan kembalikan dia kepadaku, karena aku tak bisa berada jauh darinya....

Sepanjang telinga mendengar suara Mbak Pingkan yang khas yang amat saya sukai, pemikiran saya melayang kepada wanita penjaja diri malam itu. Saya pernah dikatai pelacur oleh teman saya karena perselingkuhan saya. Waktu itu saya merasa bukan pelacur. Itu beda. Saya orang berpendidikan, tak berniat memiliki tabiat macam itu. Teman saya menimpali. "Orang pendidikan kok kayak kamu. Pendidikan opo. Kamu pasti juara pendidikan jasmani waktu di sekolah." Saya diam saja.

Saya juga merasa bukan pelacur karena kalaupun berselingkuh saya tidak dibayar seperti kupu-kupu malam, cash and carry. Saya berselingkuh karena mencintai, bukan sekadar nafsu.

Kalaupun mendapat hadiah waktu ulang tahun, waktu Natal, waktu memperingati setahun masa perselingkuhan alias pacaran dalam kegelapan alias lewat pintu belakang, buat saya itu bukan imbalan dari kegiatan di atas ranjang karena aktivitas itu dilakukan dengan rasa cinta.

Teman saya menyambar bagai petir, "Lo tidur dengan rasa cinta. Emang doi pakai cinta? Kalau selingkuhan lo punya cinta, dia enggak bakal selingkuh. Berselingkuh itu karena sudah tak ada cinta. Lo itu cuma saluran untuk buang keringat. Nanti setelah sama lo doi ya selingkuh di tempat lain. Apa bedanya ama pelacur?" Saya tetap kekeuh. Teman saya masih terus berkicau, "Dan lo bilang lo cinta? Ha-ha-ha.... Cinta itu enggak ngegangguin punya orang lageee. Itu kupu-kupu namanya, yang enggak pernah mikir panjang, asal lerbang nempel di mana saja."

Ia masih terus bersuara "Dan lo, Neng. Enggak cuma malam. Pagi ya, siang juga ya." Saya masih tetap kekeuh. Katanya yang membedakan pelacur dan manusia seperti saya yang berselingkuh adalah karena persoalan ada dan tidak adanya cinta. Teman saya menyeletuk lagi, "Kalau ada istilah kejahatan kerah putih, jij bukan cuma putih. Polkadot dan pink pula."

Calon bos kupu-kupu

Komentar macam itu tak membuat saya menyerah kalah, karena saya berpikir saya tak menjajakan diri di jalan raya. Kemudian teman saya bersuara lagi sudah mirip nurani saya sendiri. "Elo emang gak di tepi jalan, tetapi di ruang khusus hotel berbintang sambil dah nek, dah nek Sama-sama tertawa dalam harum mewangi yang enggak ada bedanya, bukan? Bukannya elo sendiri malah pernah melakukan di ketinggian tiga puluh enam ribu kaki?" Ini kalimat penutup yang disemprotkan ke muka saya. "Cuma beda eksekusinya, goblok. Eh... salah kok goblok. Beda eksekusinya, cur." Saya membalas. "Kue cucur, kaleee..."

Sebelum tiba di rumah, masih di dalam taksi dan diselimuti gelapnya Jakarta, saya senyum-senyum sendiri. Saya tersenyum mengingat pembicaraan dengan teman saya itu, mengingat begitu banyaknya perselingkuhan yang saya buat, sampai saya tak lagi bisa membedakan antara benar dan tidak benar.

Mungkin saya tak dibayar cash and carry, tetapi apa benar kalau pasangan saya menjemput dengan mobil mewah dan membelikan tas bermerek H, G, dan P sampai Z itu tidak sama saja dengan cash and carry yang diterima pelacur jalanan? Saya ingat teman saya bilang begini, "Beda waktu pengirimannya saja."

Terus saya menanyakan diri sendiri, apakah waktu saya berselingkuh selain ada rasa cinta
yang salah alamat itu, sejujurnya ada niat ingin "menjarah" kekayaan pasangan gelap itu? Jadi cinta saya tak murni-murni amat, ada saja alasan "kesejahteraan lahir" di balik mencintai sese-orang. Nurani saya yang menjawab, "Orang kayak lo kok mau miskin."

Ada sebuah periode di mana saya merasa bukan pelacur, tetapi sedang menikmati masa pacaran. Kan sah-sah saja, gonta-ganti pacar, bahkan punya pacar lebih dari satu pada waktu bersamaan. Buat saya itu prestasi. Pacaran beda dengan ludau sudah menikah. Beda beban dosanya, maksud saya.

Teman saya menyambar, "Yaaa memang. Pacaran sih... tetapi sambil ditiduri bergantian. Opo bedone mbek pelacur?" Saya menyambar balik dengan emosional "Yo bedo no." Meski setelah mendengar komentar teman itu saya dibuat bingung, istilah playboy sebuah penghormatan atau pelecehan. Teman saya berkomentar lagi. "Kalau di situasi kecil macam pacaran aja lo enggak bisa setia, lo juga enggak bakal setia di situasi lebih besar seperti pernikahan."

Dalam masa saat mata dan nurani menjadi gelap itulah saya berpikir cinta itu tak perlu ada, yang penting self satisfaction tercapai. Nurani saya langsung menjerit saat itu, lebih keras dari suara teman-teman saya, "Itu kamu naik kelas namanya. Dari pelacur menjadi germo."

SAMUEL MULIA Penulis mode dan gaya hidup
Kompas Minggu, 29 November 2009

0 comments:

Post a Comment